Selasa, September 11, 2007

Ratapan Suci di Pintu Baitullah

llahu…âkbar…Âllahu.. âkbar…". Adzan Dzuhur mulai berkumandang dari menara menara yang menjulang tinggi di sisi-sisi Mesjidil Haram di Kota suci Mekah. Hari ini kota Makkah mencapai puncak musim panas, matahari membara membakar ubun-ubun, keringat bercucuran deras membahasi pakaian, angin yang bertiup pun menghembuskan debu-debu dari gurun pasir. Orang-orang semakin banyak berdatangan memenuhi mesjid. Kerinduan para hamba yang muttaqin untuk memenuhi panggilan sang pencipta tak menyurutkan keimanan. Musim panas akhir bulan Agustus ini di perkirakan hampir mencapai 70° celcius. Puncak musim terpanas dalam 10 tahun terakhir ini.

Sesekali aku menyeka keringat yang mengalir deras membasahi wajahnya. Aku terus berjalan menelusuri gang-gang kecil di sekitar Mesjidil Haram. Gang-gang kecil di sekitar Masjidil Haram memang sengaja dibuat sempit, agar bisa menahan bias panas ketika terik matahari. Panas seperti ini sudah biasa bagiku walau terik matahari membakar ubun-ubunku, aku tetap bersemangat melangkahkan kaki menuju Masjidil Haram. Walapun jarak yang kutempuh sekitar 2 kilometer dari flat tempat tinggalku.

Ketika aku melewati sebuah gedung tua, tiba-tiba ada suara “Ssssttt…” memanggil dari arah atas flat tingkat tiga. Aku menoleh keatas, nampak seorang gadis berkerudung putih sambil berisyarat menunjuk ke bawah. Aku mengerti maksudnya, dia memintaku mengambilkan sehelai pakaian yang terjatuh dari jemuran atas. Segera kuambilkan dan kubersihkan dari debu-debu. Si gadis jelita mengulurkan tali dan keranjang dan memberi isyarat agar aku meletakkan pakain tersebut di keranjang tersebut.

Iqomah pun mulai berkumandang. Beberapa langkah lagi aku akan sampai di Mesjid al-Haram. Aku berpaling dan bergegas menuju mesjid itu. Sebagian orang berlari-larian dan sebagian mempercepat langkahnya untuk mencapai barisan shaf terdepan dan terdekat dengan ka’bah. Tiada pahala shalat berjamaah terbesar, kecuali shalat di Mesjid al-Haram , terlebih di sisi Ka’bah yang merupakan kiblat shalat bagi seluruh umat Islam sedunia.

***

Seperti biasanya sehabis shalat, aku membuka mushaf al-Qur’an dan membaca dengan tartil. Aku pilih surah favoritku, surah al-Imran. Kali ini aku ingin membaca secara perlahan dengan merenungi kandungan maknanya ayat-perayat. Sampai pada ayat “ Dihiasi bagi manusia kecintaan kepada wanita-wanita, anak-anak, harta benda…”, tiba-tiba terbayang di mataku gadis cantik berkerudung putih yang kutemui di jalan tadi. Wajah gadis itu mengingatkan aku kepada adik angkatku, Laila. Sudah 10 tahun lamanya kami berpisah, namun bayangan wajahnya tak pernah hilang dalam ingatanku. Kerinduanku untuk bertemu semakin hari semakin bertambah. Aku tidak tahu kenapa hatiku dibutakan oleh perasaan mencintainya. Aku berharap dapat melupakannya, namun gelora cinta tak pupus dan tak sirna ditelan masa.

“Ya..Allah..! sirnakanlah perasaan cintaku ini dan kerinduanku yang mendalam kepadanya” pintaku sambil menghela nafas panjang. Dulu aku berharap dengan kepergianku ke tanah suci Mekkah ini, aku dapat melupakan perasaaan cintaku ini terhadap Laila. Namun, sekeras-kerasnya hati manusia akan luluh oleh perasaan cinta. Sungguh aku tidak berdaya membendung perasaan ini. Hanya tangisan kerinduan sajalah yang dapat menyirami kegersangan hati ini.

“Aku tidak pantas mencintai Laila, apalagi memilikinya” tekadku. Laila gadis cantik putri seorang kaya dan terpandang di desaku. Sedangkan aku anak orang miskin yang dipungut dan biayai oleh keluarganya sampai aku dapat belajar ke tanah suci ini. Sungguh hal yang memalukan dan tidak tahu balas budi apabila aku masih mengharapkan cintanya datang kepangkuanku.

Dikala kerinduan itu datang, aku pun menangis sejadi-jadinya di kiswah Baitullah. Meratapi cinta yang tidak seharusnya kutujukan kepadanya. Memikul beban asmara yang berkepanjangan. Aliran darah ku menggelora, nafasku terasa di kerongongan, dada dipenuhi duri-duri tajam yang menusuk, mulutku terbungkam. Yang mengalir hanyalah deraian air mata kerinduan yang mendalam. Sungguh bahasa manusia terbatas mengungkapkan perasaan manusia. Walaupun hanya satu kata ataupun satu bait syair saja. Ketidakberdayaanku kupasrahkan kepada Tuhan yang menggenggam diri ini. Bathinku hanya berdo’a :

“Ya Allah…! hamba tidak kuasa menahan beban penderitaan lantaran kerinduan yang terpendam. Hamba memohon matikanlah hambamu dalam cintamu dan jadikanlah kerinduan ini hanya merindukan pertemuan denganmu”.

***

Kelelahan membuat aku merasa kantuk yang berat sekali, aku coba berwudhu dan sholat dua raka’at. Aku berbaring di antara tiang-tiang besar Masjd al-Haram sekedar menunggu datangnya wakt ashar. Aku hanyut dalam buaian tidur. Hembusan kipas-kipas angina membuat ku benar-benar tertidur lelap.

Aku mendengar sayup suara memanggilku, “Ka Fadhil..ka Fadhil..”. Aku seakan mengenali suara itu, tapi siapa ?. Aku seakan berada di pantai yang luas tak bertepi, kulihat dari kejauhan ada sebuah kapal perahu yang akan berlayar meninggalkan pantai. Di dalam berdiri seorang gadis yang melambai-lambaikan tangannya kepadaku, sambil berseru kencang : “Ka Fadhil..Ka Fadhil…! Adik menunggu kaka…!, aku mencoba berteriak, namun suara terasa berat dan mulutku terkunci rapat. Aku berusaha keras, tapi usahaku sia-sia. Kapal tetap berlayar dan hilang di telan samudera lautan.

Astaghfirullah…! Aku sedang bermimpi” gumam ku. Aku bangun dan berwudhu kemudian duduk lagi sambil merenungkan mimpi yang baru kualami. “Sungguh mimpi yang aneh” pikirku. “Ah mungkin saja itu Cuma hayalan atau was-was syetan saja” pikirku lagi. Tapi dalam hatiku meyakini seakan mimpi itu benar terjadi dan jelas. “Akan tetapi siapa gadis yang berada memanggilku dalam perahu itu ?”. “Apakah dia Laila gadis yang selama ini kurindukan ?”.

***


Tidak ada komentar: